Senin, 20 Oktober 2014

Kesalahan Para Pendaki Gunung yang dapat Menyebabkan Kematian

6 Kebodohan yang bikin pendaki mati di gunung

Mendaki gunung kini menjadi tren. Banyak orang ramai-ramai ikut merayakan tahun baru di puncak-puncak gunung. Melihat matahari terbit untuk pertama kalinya bersama lautan awan dari puncak-puncak tertinggi.
Sayangnya banyak orang mendaki tanpa persiapan dan kemampuan teknis yang cukup. Mereka yang bukan pendaki gunung melakukannya sekadar untuk hura-hura. Karena tak paham aturan, seenaknya saja mencoreti batu. Mengukir nama-nama mereka di pohon serta memenuhi gunung dengan sampah.
Mendaki gunung masuk kategori olahraga berbahaya. Tapi para pendaki pemula memasabodohkan bahaya. Demi memasang foto-foto di sosial media, mereka pergi ke gunung. Tanpa persiapan, asal-asalan dan seringkali sembrono.
Kematian Shizuko Rizmadhani (15) di Gunung Gede Pangrango dan Endang Hidayat (53) di Semeru bukti taruhan mendaki gunung adalah nyawa.

Berikut kebodohan para pendaki pemula yang sering membuat mereka celaka dan meninggal di gunung. Semoga semua sadar, naik gunung jauh lebih bahaya daripada pergi ke mal.


1. Sok jagoan
Sikap sok jagoan ini nyaris selalu menjadi penyebab utama musibah pada pendaki pemula. Dengan alasan mencari tantangan, para pendaki pemula ini mencari jalur di luar jalur resmi.
Parahnya, seringkali mereka melakukannya tanpa kemampuan navigasi yang baik. Jangankan GPS dan peta topografi, sekadar kompas pun tak bawa. Lalu apa yang diandalkan?
Maka petualangan mereka pun biasanya berakhir di dasar jurang, mati kedinginan di lembah atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit.
Membuka jalur baru juga berarti merusak konservasi. Mengganggu hidupan liar dan ekosistem. Para pendaki berpengalaman tak akan melakukannya selain untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.


2. Buruknya manajemen logistik
Salah satu masalah pendaki pemula adalah buruknya manajemen logistik. Dalam pikiran mereka, mendaki gunung identik dengan mie instan.
Hal ini salah besar. Mendaki gunung adalah kegiatan berat. Butuh kalori hingga 4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan aktivitas sehari-hari yang rata-rata hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari.
Kebutuhan kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak, coklat dan karbohidrat. Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan menyerap air dalam tubuh.
Seringkali para pemula mendapati nasi yang ditanak tak matang sempurna. Maka kombinasi makanan mereka jadi nasi keras, mie instan dan ikan asin. Karena tak nikmat, napsu makan pun berkurang. Padahal tubuh butuh banyak masukan untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat.
Dalam kondisi lemas dan lapar inilah sering terjadi kecelakaan. Kurangnya konsentrasi, pingsan hingga kematian.


3. Buruknya pengepakan barang
Packing atau mengepak barang dalam ransel adalah seni yang harus dikuasai pendaki gunung. Seluruh barang bawaan harus masuk ke dalam ransel. Karena medan sulit, tak boleh ada yang tergantung di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus bebas karena memegang walking stick atau berpegangan meniti akar-akar pohon jika dibutuhkan.
Maka lihatlah para pendaki pemula. Dengan panci digantung ke ransel. Tangan menenteng sleeping bag atau jaket.
Ransel mereka tak dilapisi lagi dengan cover bag. Pakaian di dalam ransel tak dilapis plastik.
Jika hujan, semua pakaian, jaket dan sleeping basah. Padahal sangat penting menjaga pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa mengakibatkan hipotermia. Inilah penyebab utama kematian seorang pendaki gunung. Suhu tubuh turun karena kedinginan.


4. Pergi dalam rombongan besar
Shizuko Rizmadhani berangkat bersama rekan-rekan pecinta alam di sekolahnya. Jumlahnya 27 orang. Jumlah yang sangat besar untuk pendakian gunung.
Kemungkinan orang tua mudah memberikan izin jika pergi dalam rombongan besar. Orang tua merasa anaknya lebih aman karena banyak yang menjaga.
Padahal salah besar. Rombongan besar justru merepotkan. Makin sulit membagi logistik dan mengatur manajemen perjalanan.
Bayangkan butuh berapa kompor lapangan untuk memberi makan 27 orang itu? Lalu perlengkapan P3K? Siapa ketuanya? Apakah dia benar-benar berwibawa untuk mengatur 27 orang itu?
Masalah yang sering muncul adalah banyaknya konflik. Keinginan anggota yang beraneka ragam dan sikap intoleransi. Lihatlah kasus Shizuko, kemana saja teman-temannya yang banyak itu?
Pendakian ideal, beranggotakan 4 sampai 6 orang pendaki. Pilihlah satu orang untuk memimpin pendakian. Bukan karena dia ketua, tapi memang memiliki watak bisa diandalkan dan leadership.


5. Hipotermia disangka kesurupan
Pendaki pemula mendaki tanpa ilmu. Berbekal semangat dan tanpa perlengkapan memadai mereka nekat mendaki gunung.
Karena tidak tahu ilmu P3K, maka sering terjadi salah kaprah. Pada penderita hipotermia, korban akan menggigil dan kehilangan kesadaran. Lalu mulai bicara melantur.
Karena nyerocos tak karuan dan sukar diajak komunikasi, teman-temannya menyangka si korban kesurupan. Mereka malah membacakan doa untuk mengusir setan. Inilah yang mungkin terjadi pada Shizuko.
Seharusnya, segera lakukan pertolongan. Ganti pakaiannya dengan pakaian kering. Masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap hangat.
Jika sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Hindari memberi kopi atau minuman keras.
Jangan pernah anggap enteng mengepak barang. Ini yang sering dimasabodohkan pendaki pemula.


6. Aku si cepat
Ciri khas pendaki pemula, apalagi yang masih berusia muda adalah selalu bergerak dengan cepat. Mereka selalu tergesa-gesa, menjadikan naik gunung seolah lomba lari ke puncak. Malu menjadi yang paling belakang, karena sering dianggap sebagai yang terlemah.
Karena itu biasanya waktu tempuh ke puncak lebih singkat. Baru setelah perjalanan turun, aneka masalah datang. Kehabisan tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan kehilangan arah menjadi ancaman.
Idealnya, ada seorang sweeper yang berjalan paling belakang. Biasanya orang ini yang paling kuat dan bisa diandalkan. Tugasnya menyapu seluruh anggota tim. Memastikan tak ada yang keteteran atau tertinggal di belakang.
Namun dalam rombongan pendaki pemula, tak ada yang mau menerima tugas ini. Jadi sweeper dianggap hina. Menjadi paling pertama sampai puncak dan pertama turun ke kaki gunung jadi tujuan utama.
"Aku si cepat. Tanpa sadar kutinggalkan sahabatku yang kelelahan mati di gunung."


Semoga bermanfaat buat sobat2 petualang.....
Dan jangan pernah sekali - kali mencoba menantang alam.




sumber: cartenz indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

[Reply to comment]